Kecerdasan Buatan atau lebih sering kita kenal dengan AI (Artificial Intelligence) adalah teknologi di dalam satu sistem yang berfungsi sebagai pemecahkan masalah kognitif dengan menggunakan algoritma pola-pola tertentu. Konsep ini pertama kali muncul di awal 2010-an. Semakin berkembang dan menjadi tidak terbendung di era 2020-an. Contoh aplikasi-aplikasi yang menerapkan AI di antaranya Google Assistant, Siri, Gramarly, ChatGT, Jenny, Brain text dan banyak lagi lainnya.
Teknologi ini memudahkan kita untuk mengerjakan sesuatu menjadi 2 atau 3 kali lebih cepat. Kenapa demikian, karena program AI ini memungkinkan kita untuk tidak hanya mencari referensi di internet tetapi juga sekaligus mencari dan merangkum atau melakukan compile menjadi hasil utuh tanpa perlu kita olah lagi sudah layak untuk digunakan. Contohnya dengan program PopAI, kita bisa membuat file presentasi hanya dengan memasukkan beberapa keyword inti, maka program akan memberikan output file presentasi. Contoh lain untuk membuat gambar atau video pendek, kita bisa menggunakan program AI Canva.
Jika kita lihat bagaimana efek dari adanya teknologi canggih ini, nampaknya ada hal positif dan negatif yang ditimbulkan. Program AI ini sangat bermanfaat untuk mempermudah dan mempercepat pekerjaan kita. Namun kita juga perlu berhati-hati karena ini berpotensi memperbudak dan kita tidak sadar jika kita diperbudak. Sebagai contoh, kasus sederhana yang sering saya temui di kelas. Sebagai dosen, saya sering memberikan tugas case based learning atau project based learning. Tujuan saya adalah supaya mahasiswa mengalami langsung sebuah permasalahan dan memicu pemikiran kritis mereka untuk memecahkan masalah tersebut. Namun seringkali mahasiswa di saat melakukan presentasi, justru solusi pemecahan masalah yang mereka tawarkan adalah solusi yang mereka dapatkan dari referensi di internet. Ketika saya tanya balik dengan pertanyaan spontan dan bersifat improvisasi, 80 persen mahasiswa tidak bisa menjawab. Kenapa? Karena apa yang mereka kerjakan itu bukan hasil pemikiran mereka, sehingga mereka kesulitan untuk melakukan improvisasi. Parahnya lagi, tidak sedikit yang ketika ditanya justru membuka HP untuk mencari jawabannya di Google. Jika seperti itu, lalu apa tujuannya simulasi pemecahan masalah? Kalau seperti itu, saya bisa Googling sendiri… Terkadang bagi dosen proses mahasiswa belajar mencari solusi pemecahan masalah itu jauh lebih penting daripada hasil nya itu sendiri. Karena disitulah hakikat belajar yang sebenarnya

Namun perlu dipahami juga, ini tidak hanya terjadi di lingkungan mahasiswa tetapi juga dosen. Kita terlalu terpaku pada sumber referensi internet tanpa mengolah ulang sehingga originalitas nya dipertanyakan. Sebagai contoh ketika mengajar mahasiswa, file presentasi yang digunakan adalah hasil dari pencarian di internet. Terkadang saya sendiri malu ketika terpaksa ikut melakukan seperti itu. Hehe..
Kesimpulannya dosen dan mahasiswa sama saja. Sama-sama diperbudak oleh teknologi dan sama sama tidak sadar kalau sedang diperbudak 😊 . Dan sepertinya tidak hanya itu saja, di luar sana masih banyak yang salah menangkap dan memanfaatkan teknologi dengan benar.Apapun itu, teknologi memang pisau bermata dua, kita harus pintar untuk mengelola. Apalagi dengan adanya teknologi AI ini, semua bisa dikerjakan lebih capet dan lebih mudah.

Leave a Reply